
Para pengurus Special Olympics Indonesia (SOIna) dari seluruh penjuru Pulau Kalimantan duduk berdampingan dengan perwakilan pemerintah daerah.
Mereka tidak sedang membicarakan soal anggaran atau prestasi semata, tetapi justru tentang masa depan—masa depan anak-anak seringkali terpinggirkan karena keterbatasan fisik maupun intelektual.
Momen itu menjadi simbol bahwa kesadaran akan pentingnya memberikan ruang bagi anak-anak bertalenta khusus telah tumbuh di Pulau Kalimantan.
Namun sayang, pertumbuhan itu belum merata. Di satu sisi, Kalimantan Selatan sudah mampu menghasilkan atlet-atlet internasional yang membanggakan.
Sementara di sisi lain, seperti di Kalimantan Barat, banyak masyarakat bahkan belum mengenal gerakan SOIna.
“Saya ingin sekali punya kesempatan menyelenggarakan Kalimantan Cup,” ujar Rini Kurnia Solihat, Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Ucapannya bukan sekadar harapan kosong.
Niat Kuat Belajar
Ia datang ke pertemuan itu dengan niat kuat untuk belajar, untuk membuka pintu lebar-lebar bagi anak-anak difabel di wilayahnya.
Ada rasa kerinduan dalam nada bicaranya. Kerinduan untuk melihat senyum para orang tua ketika melihat anak mereka tidak hanya diterima.
Akan tetapi juga diapresiasi atas kemampuan yang dimiliki. Sebuah cita-cita sederhana namun sarat makna.
Bukan hanya Kubu Raya. Apollonia Septedy dari Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, juga menyuarakan hal serupa.
Ia secara terbuka memohon dukungan dari Pengurus Pusat maupun provinsi lain yang lebih dahulu maju. “Kami butuh panduan awal, bagaimana memulainya,” katanya.
Permintaan ini menegaskan betapa masih rapuhnya fondasi gerakan ini di beberapa wilayah. Namun di balik kerapuhan itu, terselip potensi besar yang tinggal menunggu gairah untuk dibangkitkan.
Yang membuat pertemuan ini begitu bermakna adalah adanya spirit gotong-royong.
Sri Rahayu, Ketua PP SOIna Provinsi Kalimantan Selatan, langsung menyatakan kesiapannya untuk membantu daerah-daerah yang masih tertinggal.
“Karena kita berdekatan secara geografis, transportasi lebih mudah,” ujarnya lugas.
Namun di balik kalimat itu tersirat komitmen moral: bahwa perkembangan SOIna harus inklusif, tidak boleh ada wilayah yang tertinggal hanya karena minimnya akses atau informasi.
Kalimantan Selatan sendiri telah menjadi contoh nyata keberhasilan. Ribuan atlet bertalenta khusus dilahirkan dari program pembinaan yang sistematis dan terencana.
Mereka tidak hanya diasuh secara teknis, tetapi juga diberikan pendidikan mental dan sosial.
Hasil Konsisten
Hasilnya? Beberapa di antaranya berhasil mengharumkan nama bangsa di kancah internasional.
Itu semua tidak terjadi secara instan, tetapi hasil dari konsistensi, sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi.
Dan kini, semangat itu mulai menyebar. Kota Bontang di Kalimantan Timur bahkan siap menjadi tuan rumah Kalimantan Cup keempat.
Secara Adil
Kepala Bidang Olahraga Dispora Kota Bontang, Andi Parenrengi menegaskan, bahwa dukungan finansial dan fasilitas akan diberikan secara adil kepada seluruh atlet, tanpa memandang jenis disabilitas yang mereka miliki.
“Ini bukan cuma soal olahraga, tapi juga martabat manusia,” ujar Andi Parenrengi menjelaskan.
Ajang Kalimantan Cup, yang lahir sebagai wadah silaturahmi sekaligus ajang unjuk bakat, kini menjadi simbol semangat baru.
Ia bukan sekadar event tahunan, tapi representasi dari sebuah perubahan budaya—di mana anak-anak yang dulunya diasingkan karena dianggap berbeda, kini berdiri tegak, menatap dunia dengan kepala tegak.
Namun, tantangan masih panjang. Infrastruktur belum lengkap, pemahaman masyarakat masih rendah, dan tentu saja, dukungan finansial tidak selalu stabil.
Tetapi dari pertemuan di Berau itu, terlihat benih-benih harapan yang mulai tumbuh.
Benih yang ditanam dengan kesadaran kolektif, bahwa setiap anak, apapun kondisinya, layak memiliki mimpi dan upaya untuk mengejarnya.
Mengajarkan Nilai Luhur
Special Olympics Indonesia bukan hanya tentang medali atau rekor. Lebih dari itu, ia adalah gerakan kemanusiaan yang mengajarkan nilai-nilai luhur: kesetaraan, kepercayaan diri, dan kebersamaan.
Dan di tengah hutan tropis serta sungai-sungai besar Kalimantan, langkah-langkah kecil menuju keadilan sosial itu mulai terukir.
Sebuah revolusi diam-diam sedang berlangsung. Bukan dengan sorak-sorai, tapi dengan doa-doa yang terucap saat peluit pertandingan dibunyikan.
Dengan tepuk tangan menggema di pinggir lapangan, dan dengan senyum semringah seorang anak akhirnya merasa punya tempat di dunia ini.