Wakil Bupati Sanggau Susana Herpena Minta PETI Dihentikan, Tapi Renovasi Rumah Jabatan di Saat Rakyat Melarat - Kalimantannews.id

Wakil Bupati Sanggau Susana Herpena Minta PETI Dihentikan, Tapi Renovasi Rumah Jabatan di Saat Rakyat Melarat

Wakil Bupati Sanggau Susana Herpena Minta PETI Dihentikan, Tapi Renovasi Rumah Jabatan di Saat Rakyat Melarat

Wakil Bupati Sanggau Susana Herpena Minta PETI Dihentikan, Tapi Bangun Rumah Dinas di Saat Rakyat Melarat
Kalimantannews.id, Kabupaten Sanggau - Di sebuah kabupaten di ujung barat pulau Kalimantan, tepatnya di Sanggau, seorang wakil pemimpin daerah membuat pernyataan yang cukup menghebohkan.

Ia adalah Wakil Bupati Sanggau, Susana Herpena. Seorang pejabat yang konon dipilih oleh rakyat untuk mewakili suara mereka.

Itu justru malah terlihat sedang mencari panggung. Bukan mencari solusi bagi masalah yang sudah bertahun-tahun menggerogoti wilayah itu.

Sebuah kalimat penuh retorika dilontarkannya: “Saya akan koordinasi dengan Forkompimda agar aktivitas PETI dihentikan.”

Seolah-olah dengan satu kalimat tersebut, seluruh masalah bisa hilang begitu saja. 

Namun sayangnya, kalimat itu seperti syair lagu lama yang dinyanyikan ulang — indah didengar, tetapi nihil aksi nyata.

Padahal, di saat bersamaan, aroma tidak sedap dari saluran drainase di berbagai sudut Kota Sanggau mulai menyeruak.

Bahkan, bau busuk yang menguar dari parit-parit rusak menjadi simbol betapa rapuhnya infrastruktur kota. 

Dan ironisnya lagi, di tengah keluhan rakyat yang masih bergulat dengan banjir lokal dan bau menyengat dari got-got tersumbat, sang Wakil Bupati justru sedang sibuk renovasi rumah jabatan.

Ya, rumah dinas mewah. Di tengah kondisi ekonomi daerah yang disebut-sebut sedang "efisiensi anggaran".

Justru ada proyek besar terus berjalan tanpa protes dari si empunya jabatan. Apakah ini yang disebut sebagai prioritas?

Program 100 Hari Kerja: Antara Harapan dan Kenyataan Pahit

Baru beberapa bulan menjabat, pasangan Bupati dan Wakil Bupati Sanggau meluncurkan program “100 Hari Kerja”. 

Sebuah langkah awal yang digadang-gadang sebagai bukti komitmen mereka untuk membawa perubahan. 

Sayangnya, setelah melewati seratus hari tersebut, hasil yang dirasakan oleh rakyat biasa masih sangat minim.

Bayangkan, ketika seorang ibu harus rela menghirup bau busuk dari saluran air di depan rumahnya setiap pagi. 

Sementara anak-anaknya main di genangan air hitam yang sarat bakteri. Itu adalah gambaran nyata dari "kesejahteraan" yang dijanjikan.

Alih-alih fokus pada penataan sistem drainase, merupakan salah satu fondasi dasar kota layak huni, pemerintah daerah lebih tertarik pada hal-hal mudah diketengahkan ke publik. 

Seperti pertemuan-pertemuan protokoler, pelantikan panitia sana-sini, hingga pembangunan rumah dinas untuk pejabat.

Dan inilah ironi terbesarnya: di tengah upaya pemerintah pusat untuk menghemat pengeluaran daerah dan memprioritaskan kesejahteraan rakyat. 

Para pejabat daerah justru sibuk dengan proyek-proyek simbolik yang hanya menguntungkan golongan tertentu.

Bukan Soal PETI Saja, Tapi Soal Prioritas

Susana Herpena memang berbicara tentang PETI — Penambangan Emas Tanpa Izin. Ini adalah isu penting, tentu saja. 

Aktivitas ilegal tersebut memang merusak lingkungan dan mengancam masa depan generasi mendatang.

Tetapi, apakah logis jika isu itu menjadi fokus utama, sementara masalah domestik di dalam kotanya sendiri belum terselesaikan?

Ini seperti seorang dokter yang datang ke rumah pasien dengan demam tinggi, lalu malah membicarakan cara mencegah penyakit jantung pada orang sehat. Logis secara teori, tapi tidak relevan dalam praktik.

Lagi pula, koordinasi dengan Forkompimda — Forum Koordinasi Pimpinan Daerah — memang penting, tetapi jika hanya sekadar ritual tahunan tanpa rencana aksi konkret, maka itu hanyalah pencitraan politik belaka. 

Bukankah seharusnya seorang wakil bupati juga punya visi jangka pendek yang bisa langsung menyentuh rakyat?

Misalnya, membersihkan saluran air, merevitalisasi drainase, atau bahkan mengevaluasi anggaran pembangunan rumah dinas yang terkesan mewah di tengah krisis ekonomi daerah.

Simbol Ketidakadilan Atau Kepentingan Jabatan?

Pembangunan renovasi rumah jabatan dinas Wakil Bupati Sanggau memang sempat menuai kritik dari masyarakat. 

Bagaimana tidak, di saat pemerintah daerah mengeluarkan instruksi efisiensi anggaran, proyek besar ini justru tetap berjalan tanpa henti.

Rakyat yang masih kesulitan mengakses layanan kesehatan dan pendidikan, melihat proyek ini sebagai simbol ketidakadilan. 

Sementara mereka harus hidup dalam keterbatasan, pejabat justru hidup dalam kemewahan yang dibayar dari uang pajak mereka sendiri.

Dan inilah yang membuat rakyat semakin skeptis terhadap janji-janji manis para pejabat. 

Setiap kali kata "pembangunan" disebut, yang terlintas di benak mereka bukanlah kesejahteraan, melainkan proyek-proyek besar yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Jika Parit Bisa Bicara

Andai saja parit-parit di Sanggau bisa bicara, mungkin mereka akan berkata:

"Hai pejabat, kami adalah cermin dari hatimu. Bau kami mencerminkan bobroknya nuranimu. Kami tersumbat karena engkau lalai. Kami hitam karena engkau gelap." 

Parit yang seharusnya menjadi jalur penyelamat saat hujan deras justru menjadi biang masalah. 

Genangan air di mana-mana, banjir lokal yang rutin terjadi, dan bau busuk yang menusuk hidung — semua ini adalah refleksi buruk dari tata kelola pemerintahan daerah.

Jika saja para pejabat mau turun langsung ke lapangan, menyaksikan bagaimana rakyat biasa hidup di tengah kondisi ini, mungkin prioritas mereka akan berbeda. 

Mereka mungkin akan lebih memilih menggunakan anggaran untuk membersihkan parit, daripada membangun tembok pagar rumah dinas yang menjulang tinggi.

Seni Politik Mencari Panggung

Politik di Indonesia memang seni. Seni yang kadang sulit dipahami, bahkan oleh rakyat sendiri. Dan Susana Herpena tampaknya sedang asyik menari dalam panggung itu.

Ia ingin dikenal sebagai pejabat yang peduli pada lingkungan dengan menyoroti PETI. Ia ingin dikenal sebagai pemimpin yang tegas dengan koordinasi bersama Forkompimda.

Tapi ia lupa bahwa yang sebenarnya dibutuhkan oleh rakyat adalah tindakan nyata, bukan pidato megah.

Dan inilah yang membuat banyak rakyat mulai muak. Mereka bukan lagi percaya pada kata-kata. Mereka butuh hasil. 

Mereka butuh solusi. Mereka butuh pemimpin yang berani turun ke bawah, bukan hanya naik podium.

Butuh Lebih Sekadar Retorika

Perubahan memang tidak datang dalam sekejap. Ia memerlukan waktu, usaha, dan komitmen. 

Tapi yang paling penting adalah niat tulus dari para pemimpin untuk benar-benar mengabdi kepada rakyat.

Sayangnya, niat itu sepertinya masih sulit ditemukan di antara para pejabat yang lebih sibuk dengan agenda pencitraan. 

Mereka lebih suka duduk di balik meja kayu mahal, daripada berdiri di tengah lumpur parit yang mereka abaikan.

Jika ingin benar-benar membawa perubahan, Wakil Bupati Susana Herpena dan jajaran harus mulai dari hal-hal kecil. 

Membersihkan parit, menata drainase, mengevaluasi anggaran, dan menjadikan rakyat sebagai prioritas utama.

Bukan lagi soal siapa yang bisa memberikan pidato paling indah, tapi siapa yang bisa menyelesaikan masalah dengan tindakan nyata.

Dalam dunia politik, citra memang segalanya. Tapi dalam dunia rakyat, hasil adalah segalanya. 

Dan jika Wakil Bupati Susana Herpena ingin benar-benar meninggalkan jejak baik dalam sejarah Sanggau, maka ia harus berani melepaskan topeng politik dan turun ke lapangan.

Menyentuh tanah, mencium bau parit, mendengarkan keluhan rakyat — itulah wujud kepemimpinan sejati. 

Bukan lagi soal koordinasi dengan Forkompimda atau pidato tentang PETI, tapi soal bagaimana rakyat bisa tidur nyenyak tanpa khawatir banjir di tengah malam.

Mari kita tunggu, apakah Susana Herpena akan tetap mencari panggung, atau akhirnya menemukan jalan untuk benar-benar mencari solusi.

Formulir Kontak