Skandal Solar SPBU 64.785.16 Subah: Antrean Bayar Duit Extra Hingga Pengawasan Hilang Bak Siluman! - Kalimantannews.id

Skandal Solar SPBU 64.785.16 Subah: Antrean Bayar Duit Extra Hingga Pengawasan Hilang Bak Siluman!

Skandal Solar SPBU 64.785.16 Subah: Antrean Bayar Duit Extra Hingga Pengawasan Hilang Bak Siluman!

Skandal Solar SPBU 64.785.16 Subah: Antrean Bayar Duit Extra Hingga Pengawasan Hilang Bak Siluman!
Kalimantannews.id, Subah - Di Desa Subah, Kalimantan Barat, ada cerita lucu tapi bikin geregetan. Solar dijual Rp7.200 per liter, tapi harus bayar "tiket antrean" Rp25.000-Rp35.000. 

Pengawasan? Sepi bak hantu malam. Mirip film horor, cuma bedanya ini nyata!

Kalau kamu pikir dunia sudah kehabisan ide untuk membuat skandal baru, coba dengar cerita dari Desa Subah, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. 

Di sini, ada sebuah SPBU bernomor register 64.785.16 yang jadi sorotan karena ulahnya yang bakal bikin kamu mikir dua kali sebelum isi solar.

Bayangkan aja: sopir truk yang butuh bahan bakar minyak (BBM) jenis solar bukan cuma harus bayar harga normal Rp7.200 per liter, tapi juga wajib rogoh kocek tambahan Rp25.000 sampai Rp35.000 buat biaya "antrean." 

Ya, bener banget—biaya antrean! Kayak nonton konser musik atau beli tiket bioskop, gitu deh. Cuma bedanya, ini bukan hiburan, melainkan kebutuhan dasar untuk jalanin usaha mereka.

Desa Subah Lokasi Strategis dengan Cerita Kontroversial

Desa Subah memang terletak di lokasi strategis banget. Desa ini dilintasi Jalan Trans Kalimantan, jalur utama yang menghubungkan Kota Pontianak dengan daerah lain di Kalimantan Barat. 

Bahkan, kilometer 29 Jalan Trans Kalimantan di Desa Subah sering jadi tempat singgah para sopir truk yang lagi dalam perjalanan panjang. 

Namun, alih-alih dapat pelayanan prima, mereka malah disambut dengan praktik bisnis yang bikin dahi berkerut.

Skandal Solar SPBU 64.785.16 Subah: Antrean Bayar Duit Extra Hingga Pengawasan Hilang Bak Siluman!

SPBU 64.785.16 di Desa Subah ini bisa dibilang mirip "vampire ekonomi." Siang hari, SPBU ini keliatannya sepi kayak kantor pajak pas jam istirahat. 

Tapi begitu malam tiba, wah, ramenya luar biasa! Truk-truk besar mulai berdatangan, dan praktik dagang ilegal pun dimulai. 

Tapi anehnya, pengawasan dari pihak terkait kayak hilang ditelan bumi. Apakah mereka sedang liburan bareng alien?

Operator Ngaku Dapat Perintah Dari Atas

Ketika wartawan coba ngorek informasi, Lestari, salah satu operator SPBU 64.785.16, dengan santai bilang kalau penjualan solar Rp7.200 per liter itu udah atas perintah pimpinan. 

Nah, lho! Emang si bos pikir dia raja jagat yang bisa bikin aturan seenak jidat sendiri? Bukan cuma itu, Lestari juga blak-blakan soal biaya "parkir antrean" yang dipatok Rp25.000 sampai Rp35.000 per unit kendaraan. 

Biaya ini katanya wajib dibayar sama semua sopir yang mau ngisi solar. Hmm, kayaknya mereka gak sadar kalau ini namanya pungutan liar alias pungli ya? 

Atau mungkin mereka emang pura-pura gak tau biar gak kena masalah? Sayangnya, manager SPBU 64.785.16, K Rusdiyanto, gak bisa ditemui untuk klarifikasi. 

Entah dia lagi sibuk main golf di bulan atau sembunyi di balik kursi kerjanya. Yang jelas, sikapnya ini bikin publik makin curiga.

Yang bikin cerita ini makin absurd adalah sikap Hiswana Migas Kalimantan Barat. Organisasi yang seharusnya bertugas mengawasi distribusi BBM ini malah diam seribu bahasa. 

Mereka kayak patung museum yang cuma bisa dilihat doang tanpa memberikan jawaban apa pun terkait dugaan praktik nakal beberapa SPBU di wilayah Kalimantan Barat.

Warga pun mulai berspekulasi. Ada yang bilang Hiswana Migas mungkin lagi liburan ke Mars. Ada juga yang menduga kalau mereka sengaja tutup mata demi setoran bulanan dari para SPBU nakal. 

Entahlah, yang pasti, masyarakat butuh penjelasan konkret, bukan tebak-tebakan kayak sinetron murahan.

Apa Ini Pembiaran Atau Praktik Premanisme Modern?

Nah, sekarang kita masuk ke bagian serunya. Apa iya pengawasan BBM di Kalimantan Barat selemah ini? 

Atau jangan-jangan ada kolaborasi gelap antara pihak SPBU dan oknum tertentu? Banyak orang mulai curiga kalau praktik ini udah jadi rahasia umum. 

Mungkin mereka pikir selama ada "setoran bulanan" ke pihak tertentu, maka semuanya aman-aman aja.

Ini bukan cuma soal harga solar yang naik turun kayak roller coaster. Ini soal keadilan bagi para sopir truk yang udah susah payah cari nafkah buat keluarga mereka. 

Mereka harus bayar lebih mahal cuma karena sistem distribusi BBM di Indonesia masih kayak kapal bocor yang gak ada yang mau nyelamatin.

Solusi? Atau Sekadar Mimpi di Siang Bolong?

Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah dan pihak terkait perlu turun tangan serius. 

Pertama, pengawasan harus diperketat. Jangan cuma sekadar datang ke SPBU pas ada inspeksi mendadak, tapi lakukan pemantauan rutin. 

Kedua, sanksi tegas harus diberlakukan bagi pelaku praktik nakal. Kalau perlu, cabut izin operasi SPBU yang terbukti melakukan pungli.

Selain itu, masyarakat juga perlu dilibatkan dalam pengawasan. Misalnya, bikin hotline aduan yang mudah diakses. 

Kalau ada warga yang nemuin praktik ilegal, mereka bisa langsung lapor tanpa ribet. Ingat, partisipasi masyarakat adalah kunci untuk memperbaiki sistem yang bobrok ini.

Waktu Bertindak Sudah Tiba!

Cerita dari Desa Subah ini adalah tamparan keras buat kita semua. Bagaimana mungkin di era digital dan transparansi seperti sekarang, masih ada praktik bisnis ilegal yang merugikan masyarakat? 

Apakah kita akan terus membiarkan hal ini terjadi hanya karena takut atau cuek? Kalau kita ingin Indonesia maju, maka langkah pertama adalah membersihkan sistem distribusi BBM dari praktik-praktik kotor seperti ini. 

Jangan sampai cerita pilu di Desa Subah ini jadi cerminan buruk bagi daerah lain di Indonesia. Sudah waktunya kita bangkit dan bergerak bersama-sama!

Jadi, gimana nih? Masih mau diam aja atau mulai ngomong keras soal ini? Satu suara bisa jadi awal perubahan, loh!

Formulir Kontak