
Ketika Sertifikat Lebih Sulit Didapat Daripada Emas Hingga Brilian!
Kalimantannews.id, Sanggau - Bayangkan sebuah negeri di mana sertifikat tanah lebih sulit didapatkan daripada emas kawin untuk pernikahan adat.
Di Sanggau, Kabupaten Kalimantan Barat, mimpi memiliki sertifikat tanah ternyata bukan tentang harapan, melainkan tentang ketabahan.
Herri Supriady SH, seorang penerima kuasa, harus berjuang keras untuk mendapatkan hak atas tanah milik Muhamad Isnu, yang sudah diajukan sejak 9 November 2023.
Namun, apa daya? Kantor ATR/BPN Sanggau tampaknya lebih tertarik pada seni menunda daripada memenuhi tanggung jawabnya.
Berkas Menghilang, Jawaban Menguap!
Ketika Herri Supriady SH mendatangi kantor ATR/BPN Sanggau di Jalan Jendral Sudirman Nomor 08, Kelurahan Beringin, Kecamatan Kapuas, ia disambut dengan senyum ramah—tapi tanpa solusi nyata.
Plt Kepala Sub Seksi Penetapan Hak Tanah, Nugroho Budi Yulianto SH, menyampaikan bahwa berkas telah dikirim ke Kanwil ATR/BPN Kalimantan Barat sejak tahun 2024.
Namun, sampai detik ini, tak ada progres apa pun. Bukankah ini mirip dengan cerita sinetron yang episode-nya tak kunjung tamat?
Herri tidak tinggal diam. Ia menyoroti adanya pelanggaran terhadap Standar Operasional Prosedur (SOP) yang mestinya menjadi pedoman kerja ATR/BPN.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2021, hingga Permen ATR/BPN Nomor 2 Tahun 2025, semuanya seolah hanya pajangan di dinding kantor. Aturan ada, tapi implementasinya? Entahlah.
Transparansi Hanyalah Mimpi Basah!"
Herri Supriady SH juga menyoroti pentingnya keterbukaan informasi publik sesuai UU KIP Nomor 14 Tahun 2008.
Namun, kenyataannya, ATR/BPN Sanggau tampak seperti kotak hitam yang tertutup rapat. Informasi soal status pengajuan sertifikat sulit didapatkan, bahkan setelah berkali-kali diminta.
Apakah ini bentuk pelayanan publik modern, atau justru drama birokrasi yang semakin absurd?
"Harapan kami, ATR/BPN dapat menjalankan fungsinya sesuai aturan yang berlaku," ujar Herri dengan nada getir. Namun, apakah harapan ini akan terwujud, atau sekadar angin lalu yang hilang ditelan waktu?
Di balik lambatnya proses sertifikasi tanah, muncul dugaan kuat tentang praktik mafia pertanahan. Bagaimana mungkin berkas yang sudah dikirim ke Kanwil ATR/BPN sejak 2024 tak kunjung diproses?
Apakah ada pihak-pihak tertentu yang bermain di balik layar, memanfaatkan celah birokrasi untuk keuntungan pribadi?
Herri Supriady SH tidak secara eksplisit menyebut kata "mafia," namun sindiran halusnya cukup menusuk.
Ia menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap langkah proses penerbitan sertifikat.
Tanpa itu, sulit bagi masyarakat untuk percaya bahwa pelayanan publik benar-benar bebas dari kepentingan pribadi.
Saat Harapan Tertahan di Meja Birokrasi!
Kisah Herri Supriady SH dan Muhamad Isnu adalah potret kecil dari masalah besar yang dihadapi banyak warga di Indonesia.
Proses penerbitan sertifikat tanah yang seharusnya mudah dan cepat, malah berubah menjadi marathon tanpa garis finish.
Kantor ATR/BPN Sanggau, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberikan pelayanan prima, justru menjadi simbol ketidakpastian hukum dan birokrasi yang membingungkan.
Apakah ini akhir cerita? Belum tentu. Kasus ini kemungkinan besar akan terus bergulir, baik di meja protes maupun di ranah hukum.
Namun, satu hal yang pasti: masyarakat butuh jawaban konkret, bukan janji-janji kosong yang hanya memperpanjang derita mereka.
Ketika Negara Lupa Melindungi Rakyatnya!
Indonesia adalah negara hukum, tempat di mana setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan dan pelayanan yang adil.
Namun, ketika institusi seperti ATR/BPN gagal menjalankan fungsinya, kita harus bertanya: di mana letak keadilan itu?
Kasus di Sanggau ini bukan sekadar cerita tentang satu orang atau satu kantor. Ini adalah cerminan dari sistem yang masih penuh kelemahan.
Semoga suatu hari nanti, pelayanan publik di Indonesia bisa benar-benar menjadi pelayanan yang melayani, bukan sekadar pelayanan yang membuat rakyat semakin menderita.
Sampai saat itu tiba, mari kita tetap kritis dan terus menuntut transparansi serta akuntabilitas dari para pemangku kebijakan.
Ini kesadaran pembaca tentang pentingnya reformasi birokrasi dan pemberantasan praktik korupsi di sektor pertanahan.