
Di atas tanah yang dulunya basah oleh sungai jernih, berdiri megah sebuah pabrik yang katanya membawa harapan: PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW).
Namun, benarkah PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW) datang membawa janji? Atau justru pulang membawa luka?
Ketika Kekayaan Alam Tak Lagi Milik Anak Negeri
Di atas lahan luas yang pernah diisi suara orangutan, suara burung, jangkrik dan desir angin rawa, kini terdengar dentuman mesin.
Bau logam dan debu menyatu menjadi rutinitas harian bagi warga Desa Mekar Utama. Mereka tak minta banyak—sekadar udara bersih dan air sungai yang bisa diteguk.
“Dulu kami mancing sore-sore, dapat ikan sepat, gabus. Sekarang sungai bau, keruh, bahkan jari bisa gatal kalau nyemplung,” tutur Yani sambil menatap sungai yang menghitam di belakang rumah panggungnya.
Yani bukan aktivis. Ia ibu rumah tangga biasa. Tapi ia tahu, hidupnya berubah sejak pabrik WHW mulai menggeliat.
Pajak Diloncati, Limbah Dibiarkan?
Bukan hanya udara dan sungai yang jadi korban. Pajak daerah pun, kata warga, turut dilompati seperti anak tangga yang dianggap tak penting.
Ketua Lembaga Peduli Lingkungan (LPL) Kalimantan Barat, Hendri, menyebut bahwa perusahaan ini diduga mengabaikan kewajiban finansialnya terhadap daerah.
“Perusahaan sekelas WHW seharusnya jadi contoh. Tapi yang terjadi, malah cemari lingkungan dan kabur dari kewajiban pajak,” tegas Hendri.
Dalam lanskap investasi nasional, WHW termasuk salah satu yang paling disorot. Perusahaan ini merupakan pengolahan bauksit terbesar di Kalimantan Barat.
Tapi menurut laporan warga dan aktivis, kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat minim. Ironi: daerah kaya mineral, tapi miskin pemasukan.
Rakyat Jadi Penonton di Kampung Sendiri
Bagi Lukman, tokoh muda Kendawangan, tak ada lagi yang lebih menyakitkan selain melihat kampung halaman dijarah perlahan, tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Kami bukan anti investasi. Tapi tolong, jangan jadikan kami penonton di tanah sendiri. Pabrik berdiri, tapi kami hirup debunya. Kami cuma mau hidup yang layak,” katanya, getir.
Lukman dan pemuda lain sempat menggelar diskusi terbuka, namun suaranya kerap kandas. Proposal penyuluhan lingkungan pun tak pernah sampai ke meja perusahaan.
PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW) seolah berdiri sebagai entitas yang kebal—baik dari pajak, hukum, maupun hati nurani.
Janji Negara, Nyaris Tak Pernah Sampai
Pemerintah daerah belum buka suara. Ketika media mencoba menghubungi pejabat terkait, hanya angin yang menjawab. Hingga tulisan ini diturunkan, belum ada keterangan resmi.
Yang muncul justru janji-janji lama yang terus diulang: “Akan ditindak.” “Masih dalam evaluasi.” “Akan dikaji lebih lanjut.”
Warga bosan. Mereka mulai melirik ke pusat. Kelompok aktivis menyusun laporan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Antara Investasi dan Keadilan
Bicara soal investasi, kita sering lupa pada satu hal: keadilan ekologis.
Investasi tak salah, tapi ketika ia datang menginjak, bukan membangun—itulah awal kehancuran.
PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW), sebagai korporasi, datang dengan janji besar.
Lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, modernisasi wilayah. Tapi sejauh ini, yang diterima rakyat hanyalah:
- Debu yang menyelimuti pagi,
- Bau limbah yang membumbui malam,
- Sungai yang kehilangan ikan,
- Dan langit yang enggan lagi biru.
Audit Menyeluruh Adalah Harapan Terakhir
Hendri dari LPL mendesak dilakukan audit menyeluruh atas kegiatan WHW. Mulai dari aspek perpajakan, izin lingkungan, hingga kepatuhan CSR.
“Jangan tunggu ada tragedi besar baru pemerintah turun. Setiap hari ada yang mati pelan-pelan karena limbah, tapi itu tak masuk breaking news,” ucapnya lirih.
Audit bukan sekadar angka. Audit adalah cermin moral negara terhadap warganya. Apakah ia berpihak pada rakyat kecil, atau tunduk pada pelicin korporasi besar?
Pekerja Lokal? Ada, Tapi...
Salah satu janji awal PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW) adalah menyerap tenaga kerja lokal.
Tapi kenyataan di lapangan berbicara lain. Banyak posisi strategis diisi pekerja dari luar daerah, bahkan luar negeri.
“Anak-anak muda di sini cuma dikasih posisi jaga gudang. Yang pegang alat berat, manajer produksi, semuanya dari luar,” ujar seorang warga yang minta namanya dirahasiakan.
Bagi warga, ini menyakitkan. Mereka sudah menyerahkan hutan, udara, air—tapi tak diberi peran berarti.
Ketika Hukum Jadi Komoditas
Barangkali yang paling menyesakkan adalah diamnya aparat. Seolah hukum bisa dibarter dengan janji investasi.
Seolah limbah bisa dibersihkan dengan sumbangan saat bencana. Tapi luka ekologis tak sembuh dengan CSR PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW) seremonial.
“Kalau terus begini, Kendawangan cuma jadi korban dari sistem yang tak pernah berpihak,” tegas Lukman.
Warga berharap, aparat pusat turun langsung. Mereka tak lagi percaya janji lokal. Terlalu banyak yang menggantung di udara, dan terlalu sedikit yang menetes sebagai keadilan.
Ada di Mana Keadilan Bermuara?
Di desa Mekar Utama, anak-anak masih bermain di bawah langit kelabu. Mereka tertawa, tak tahu bahwa sungai di dekat rumah mereka menyimpan racun.
Mereka belum paham bahwa udara yang mereka hirup membawa partikel-partikel logam tak kasatmata.
PT Well Harvest Winning Alumina Refinery (WHW) mungkin mengolah bauksit menjadi alumina. Tapi siapa yang mengolah keadilan menjadi kenyataan?
Di negeri ini, hukum masih sering kalah oleh investasi. Tapi rakyat tak bisa terus didiamkan.
Suara mereka mungkin kecil, seperti burung pipit di pagi buta. Tapi kalau terus diabaikan, negeri ini hanya akan menyisakan pabrik megah dan kuburan diam.
Pemerintah, dengarlah suara yang tak masuk laporan bulanan. Dengarlah jeritan yang tak ditulis dalam neraca pendapatan.
Karena pada akhirnya, negara yang besar bukan hanya karena pabriknya—tapi karena ia tahu bagaimana memperlakukan rakyat kecilnya.