IRONI Negeri Kaya! Jerigen, Solar, dan Asmara Gelap di SPBU 64.786.06 Sekadau Kalimantan Barat Tak Pernah Padam - Kalimantannews.id

IRONI Negeri Kaya! Jerigen, Solar, dan Asmara Gelap di SPBU 64.786.06 Sekadau Kalimantan Barat Tak Pernah Padam

IRONI Negeri Kaya! Jerigen, Solar, dan Asmara Gelap di SPBU 64.786.06 Sekadau Kalimantan Barat Tak Pernah Padam
IRONI Negeri Kaya! Jerigen, Solar, dan Asmara Gelap di SPBU 64.786.06 Sekadau Kalimantan Barat Tak Pernah Padam
Jerigen-jerigen nakal di SPBU 64.786.06 Sekadau Kalimantan Barat menelan nurani, meneteskan solar, dan memantulkan wajah bisnis gelap. Agar Pertamina dimina turun langsung meninjau, memeriksa, menegakkan aturan tanpa pandang bulu.

Kalimantannews.id, Sekadau Kalimantan Barat - Di sebuah sudut jalan lintas Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat, kehidupan mengalir seperti BBM di selang SPBU nomor 64.786.06.

Di sanalah, antara deru mesin dan aroma bahan bakar, manusia-manusia kecil bertaruh antara kebutuhan dan ketamakan.

Mereka menenteng jerigen, membawa harapan, juga menjemput dosa kecil yang sudah dianggap biasa-biasa saja.

Pagi itu, cahaya matahari jatuh tepat di atas logo merah putih Pertamina, tapi kilau itu kalah terang dengan pemandangan sudah terlalu akrab.
IRONI Negeri Kaya! Jerigen, Solar, dan Asmara Gelap di SPBU 64.786.06 Sekadau Kalimantan Barat Tak Pernah Padam
Sebuah mobil pickup berhenti, jerigen-jerigen berjejer di dalamnya, dan petugas yang tampak sigap melayani.

Tak ada yang bersembunyi, tak ada yang merasa salah. Semua berjalan dengan ritme keseharian yang ironis legal di mata warga, abu-abu di mata hukum.

Ironi Surat Rekomendasi

Di balik pemandangan sederhana itu, tersimpan urusan administratif yang tak kalah rumit dari jalur distribusi minyak global.

Warga, yang sesekali ikut antre membawa jerigen, bercerita lirih seolah takut pada sistem yang tak kelihatan tapi nyata menggenggam mereka.

“Kami juga bisa kalau buat surat rekomendasi dari desa, tapi kadang ribet. Jadi ya malas jadinya,” kata seorang warga, menunduk dalam penat.

Surat rekomendasi selembar kertas yang menentukan siapa boleh menampung solar dan siapa tidak menjadi simbol betapa negara hadir setengah hati di pelosok.

Di desa, rekomendasi itu seperti tiket langka. Kadang sah, kadang ‘disahkan’.
IRONI Negeri Kaya! Jerigen, Solar, dan Asmara Gelap di SPBU 64.786.06 Sekadau Kalimantan Barat Tak Pernah Padam
Yang berhak mendapatkannya bukan hanya mereka yang membutuhkan, tapi mereka tahu bagaimana caranya “mengurus”.

Di situ, ruang abu-abu itu mulai tumbuh subur. Rekomendasi menjadi formalitas; niat baik negara untuk menertibkan justru menjadi jaring yang mudah diselundupi.

Solar untuk Sawit dan Emas Ilegal

Dari SPBU 64.786.06 milik Vera di Jalan Lintas Sintang itu, solar bersubsidi bukan hanya mengisi tangki kendaraan rakyat.

Menurut sejumlah warga, sebagian bahan bakar itu mengalir ke tempat-tempat lebih jauh dari pandangan mata dan hati nurani: perkebunan kelapa sawit dan tambang emas ilegal (PETI).

Ada ironi yang menggigit di sana. Solar bersubsidi yang sejatinya ditujukan untuk rakyat kecil justru ikut menghidupi bisnis-bisnis besar yang tak selalu resmi.

Di kebun kelapa sawit, solar itu menyalakan mesin panen dan truk angkut buah. Di lubang-lubang tambang, ia memberi tenaga bagi para pendulang emas yang bekerja di luar hukum.

Warga sekitar menyaksikan semua itu. Mereka tahu siapa yang mengisi jerigen untuk usaha tambang, siapa yang berbisnis solar di balik pickup.

Tapi mereka bungkam, mungkin karena sudah terlalu sering melihat, mungkin karena sudah terlalu lelah berharap.

Yang tersisa hanyalah rasa getir dan kalimat pendek yang sering terdengar di warung kopi.

“Ah, biasa aja itu. Semua orang juga tahu.”

Jerigen dan Nurani

Setiap tetes solar bersubsidi yang bocor dari sistem bukan sekadar angka rugi negara. Ia adalah simbol kebocoran yang lebih besar dari rasa tanggung jawab, dari etika niaga, dari kesadaran publik.

Pertamina memang punya aturan. Aparat punya wewenang, dan warga punya hak. Tapi di lapangan berlaku sering kali bukan peraturan, melainkan kebiasaan.

Jerigen-jerigen itu ibarat saksi bisu: mereka tahu siapa yang membeli, siapa yang memesan, siapa yang berpura-pura tak tahu.

Petugas SPBU, dalam tekanan kuota dan pengawasan longgar, berada di posisi dilematis.

Di satu sisi mereka tahu larangan, di sisi lain mereka mengenal semua wajah di antrean—tetangga, keluarga, bahkan teman sendiri.

Akhirnya, batas antara kemanusiaan dan pelanggaran jadi setipis selang pengisi BBM itu sendiri.

Beberapa warga mulai berani bersuara, meski masih setengah berbisik. Mereka menduga ada semacam “permainan halus” antara oknum karyawan SPBU dengan pembeli tetap jerigen.

Sebuah simbiosis mutualisme yang lahir dari lemahnya pengawasan dan minimnya sanksi.

Yang paling menyesakkan, katanya, solar-solar itu dijual lagi ke sektor yang sama sekali tidak berhak dan dengan harga subsidi pula.

Kecurigaan itu bukan tanpa alasan. Jika pengisian jerigen dilakukan dengan surat rekomendasi asli, mestinya ada transparansi.

Tapi kalau rekomendasi hanya dijadikan tameng bagi transaksi gelap, maka SPBU bukan lagi tempat jual beli energi, melainkan panggung drama ekonomi rakyat yang kehilangan arah.

“Kami cuma mau adil,” ujar warga lain. “Kalau memang ada surat, tunjukkan. Kalau tidak, ya jangan dibiarkan.”

Ironi di Tengah Jalan Lintas

SPBU nomor 64.786.06 Sekadau hanyalah satu titik kecil di peta besar Kalimantan Barat. Tapi dari sinilah kita bisa membaca potret kecil dari kebijakan BBM nasional yang sering tumpul di akar.

Negara mengatur, rakyat mencari celah, sementara aparat memantau dari jauh, berharap semua berjalan sebagaimana tertulis di peraturan.

Padahal di lapangan, kehidupan tak sesederhana pasal dalam peraturan menteri.

Ketika birokrasi lambat dan kebutuhan harian tak bisa menunggu, jerigen menjadi solusi darurat atau dalih sempurna untuk melanjutkan hidup.

Pertamina Regional Kalimantan Barat pun kini dihadapkan pada tuntutan moral bukan sekadar mengatur distribusi, tapi memastikan bahwa keadilan energi benar-benar sampai di ujung negeri.

Bukan lagi soal menghitung liter BBM yang hilang, tapi menakar berapa banyak nurani yang sudah ikut mencair di dalam jerigen-jerigen itu.

Warga Sungai Ayak Sekadau masih berharap. Harapan sederhana saja. Agar Pertamina dimina turun langsung meninjau, memeriksa, menegakkan aturan tanpa pandang bulu.

Mereka ingin tahu, apakah jerigen-jerigen itu benar membawa surat rekomendasi atau sekadar karcis dari sistem yang longgar.

Di balik suara mesin pompa dan tawa ringan para sopir pickup, tersimpan keresahan kolektif yang pelan-pelan menua bersama waktu.

Negara, kata mereka, seharusnya hadir bukan sekadar dalam bentuk papan logo SPBU, tapi dalam wujud pengawasan yang adil dan nyata.

Sebab ketika pengawasan lemah, maka keadilan ikut bocor. Dan dari bocoran itulah lahir pasar gelap yang lebih kuat daripada regulasi itu sendiri.

Sekadau bukan cerita tunggal. Ia hanyalah refleksi kecil dari wajah besar distribusi energi di negeri kaya tapi sering haus keadilan.

Selama jerigen masih bisa menampung solar dengan “izin istimewa,” selama truk tambang masih bisa melaju dengan bahan bakar subsidi, maka api keserakahan akan terus menyala di bawah bendera merah putih.

Di ujung cerita ini, tak ada yang benar-benar jahat atau benar-benar suci.

Hanya ada manusia yang bernegosiasi dengan kebutuhan, dengan sistem yang diciptakan untuk menertibkan, tapi sering kali justru membuka peluang baru untuk disiasati.

Di SPBU Jalan Lintas Sintang itu, jerigen-jerigen masih berdiri tegak, menunggu giliran diisi seperti nurani bangsa menunggu diisi kembali dengan kejujuran.

Formulir Kontak