
Di sebuah sudut Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat, terjadi pertemuan antara dua tokoh utama dalam drama tak terduga—seorang pengusaha dan seorang oknum wartawan.
Yang satu, adalah sosok yang selama ini menjalankan usahanya dengan legalitas lengkap, tak pernah tersandung masalah hukum.
Yang lainnya, mengenakan jaket korps pers, tapi membawa rekaman suara yang menyeret nama sang pengusaha ke jurang fitnah.
Dalam percakapan itu, uang bukan sekadar alat tukar. Uang adalah senjata. Rp5 miliar adalah harga untuk diam.
Atau, jika tidak dituruti, maka akan datang serangan berita yang lebih masif. Bukan berita fakta.
Tapi berita yang direkayasa. Narasi yang dibentuk sedemikian rupa hingga menyeret citra baik seseorang ke lumpur hitam opini publik.
Kasus ini bermula ketika sebuah rekaman percakapan antara tim negosiasi pengusaha dan seorang oknum wartawan beredar luas di kalangan tertentu.
Dalam rekaman tersebut terdengar jelas bagaimana sang wartawan, yang disebut sebagai staf dari salah satu grup media nasional.
Menawarkan “perlindungan informasi”—alias jaminan bahwa berita buruk tidak akan dipublikasi—dengan imbalan sejumlah uang.
Awalnya permintaan itu melambung tinggi: Rp5 miliar. Angka yang bahkan bisa membangun satu unit pabrik pengolahan kelapa sawit.
Namun setelah beberapa kali negosiasi yang panas, angka itu turun menjadi Rp700 juta. Masih saja, penolakan keras dilayangkan oleh pihak pengusaha.
Mengapa? Karena mereka sadar betul: tidak ada dasar hukum maupun moral bagi seseorang yang menyandang profesi mulia seperti wartawan untuk menggunakan profesi itu sebagai alat pemerasan.
Sang pengusaha menyatakan bahwa selama ini operasional usahanya telah memenuhi segala aturan yang berlaku.
Ijin lingkungan, izin operasional, hingga rekomendasi dari instansi terkait, semua sudah dikantongi.
Namun entah dari mana, tiba-tiba muncul narasi-narasi negatif di media daring. Isinya, tuduhan illegalitas, pencemaran lingkungan, hingga pelanggaran hak asasi manusia.
Semua tanpa bukti konkret. Semua hanya berdasarkan klaim-klaim ambigu yang tidak bisa diverifikasi.
Dan ketika mereka mencoba menelusuri asal muasal pemberitaan tersebut, ternyata akarnya berasal dari seorang oknum wartawan mengaku punya akses ke berbagai platform besar dan media massa berskala nasional.
Dari rekaman suara yang sempat beredar, terdengar jelas bagaimana sang oknum wartawan mengarahkan percakapan ke ranah finansial.
“Kalau mau berhenti, harus bayar,” begitu kata dia dalam nada bicara biasa, seolah-olah transaksi semacam ini adalah hal lumrah.
Tim negosiasi pengusaha coba menawar. Mereka menegaskan bahwa mereka tidak memiliki niat untuk memberikan sejumlah uang hanya demi membungkam pemberitaan. Apalagi jika pemberitaan itu sendiri tidak didasari fakta.
Namun jawaban dari oknum wartawan membuat bulu kuduk berdiri: "Kalau tidak dibayar, kami akan libatkan lebih banyak orang. Lebih banyak media. Lebih banyak narasi."
Sebuah ancaman terselubung. Sebuah ultimatum berbalut jargon "kebebasan pers". Tapi yang terdengar jelas adalah aroma pemerasan dan kriminalisasi lewat media.
“Jika Ini Dibiarkan, Maka Kalimantan Barat Akan Jadi Neraka Investasi”
Salah satu pihak yang khawatir dengan fenomena ini adalah para investor dan pelaku usaha di Kalimantan Barat.
Mereka merasa iklim investasi yang susah payah dibangun bisa runtuh hanya karena ulah segelintir oknum yang memanfaatkan media sebagai alat tekanan psikologis.
“Bayangkan saja, jika setiap pengusaha yang ingin beroperasi harus membayar sejumlah uang kepada oknum wartawan agar tidak diberitakan negatif.
Maka bukan lagi investasi yang kita bangun, tapi mafia informasi yang berkuasa,” ujar salah satu pengamat ekonomi daerah.
Polda Kalbar, Ini Bukan Lagi Soal Etika, Ini Soal Hukum!
Permintaan penegakan hukum mulai menggema. Banyak pihak menyerukan agar Polda Kalimantan Barat segera bertindak tegas.
Bukan hanya karena adanya dugaan pemerasan, tapi juga karena potensi pencemaran nama baik dan penyalahgunaan profesi wartawan.
Pasal 368 KUHP tentang pemerasan bisa menjadi landasan hukum. Selain itu, Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 juga mengatur bahwa wartawan harus menjunjung tinggi kode etik jurnalistik, termasuk tidak melakukan konflik kepentingan, tidak menerima suap, dan tidak mencampurkan fakta dengan opini secara manipulatif.
Jika terbukti bersalah, maka oknum tersebut bukan hanya layak dicopot dari jabatannya sebagai wartawan, tapi juga harus menjalani proses hukum sebagai pelaku tindak pidana.
Salah satu hal yang membuat kasus ini sangat kuat adalah adanya rekaman percakapan.
Rekaman ini bukan hanya menjadi bukti awal, tapi juga bisa digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.
Sayangnya, sumber yang menyebarkan rekaman ini meminta agar media massa tidak langsung mempublikasikan versi audio secara bebas sebelum tersangka ditangkap.
Alasannya, demi menjaga objektivitas penyelidikan dan menghindari kesimpulan publik yang prematur.
Namun, rekaman ini sudah cukup untuk membuat heboh jagat maya. Bahkan di kalangan internal media tempat oknum tersebut bekerja, muncul desakan agar dilakukan investigasi internal secepatnya.
Kasus ini juga menjadi cermin bagi institusi pers. Ketika seorang oknum yang bernaung di bawah naungan grup media besar terlibat dalam kasus pemerasan, maka reputasi media tersebut ikut tercemar.
Publik mulai mempertanyakan: apakah sistem kontrol internal di media-media besar benar-benar efektif?
Apakah mekanisme pelaporan dan pengaduan sudah cukup kuat untuk mencegah perilaku tidak profesional?
Lebih dari itu, masyarakat mulai sadar bahwa label "media nasional" bukanlah jaminan atas kredibilitas.
Malah, justru menjadi tameng bagi sebagian oknum untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kode etik jurnalistik.
Inilah Perang Informasi di Era Digital
Di era digital saat ini, informasi bisa menyebar dengan cepat. Tapi sayangnya, kecepatan itu tidak selalu dibarengi dengan kedalaman fakta.
Narasi negatif bisa dibuat, diedarkan, dan dipercaya hanya dalam hitungan jam—tanpa verifikasi yang memadai.
Kasus ini mengingatkan kita pada fenomena "black campaign", di mana informasi palsu atau tendensius digunakan untuk menjatuhkan lawan.
Bedanya, kali ini pelaku utamanya adalah oknum wartawan yang seharusnya netral dan profesional.
Akhirnya, masyarakat pun semakin skeptis. Tidak semua berita bisa dipercaya. Tidak semua narasi bisa diterima mentah-mentah.
Dan yang terpenting: tidak semua orang yang mengaku wartawan adalah wartawan sesungguhnya.
Di tengah situasi ini, harapan masih ada. Harapan bahwa keadilan bisa tegak. Bahwa profesi wartawan tidak akan lagi menjadi alat pemerasan.
Bahwa kebenaran akan selalu menemukan jalannya, meski harus merangkak di antara tumpukan narasi palsu.
Kasus ini bukan hanya soal seorang oknum. Ini adalah cerminan krisis integritas dalam dunia pers.
Dunia yang dulunya dihormati sebagai penjaga demokrasi, kini terkadang malah menjadi arena transaksi gelap.
Jika tidak ada langkah tegas, maka bukan hanya satu pengusaha yang akan menjadi korban.
Bisa jadi, esok hari, giliran Anda atau saya yang menjadi target berikutnya dari preman berdasi yang bernama "wartawan".