Inilah kasus kredit fiktif Rp120 miliar di Sulawesi Selatan, menelusuri aliran dana, kelengahan bank, taktik koperasi, dan tarik-ulur penyidikan yang masih gelap.
Kalimantannews.id, Sulawesi Selatan - Jejak dana gelap. Pada suatu siang yang lengket di Kota Makassar Sulawesi Selatan, kabar tentang kredit fiktif Rp120 miliar kembali berputar di udara.
Seperti angin asin dari laut, aromanya menusuk tetapi tak terlihat. Di lantai penyidikan Polda Sulawesi Selatan, berkas-berkas menumpuk, nama-nama berseliweran, dan jejak uang itu terus berlari ke arah tak semua mau ditunjuk.
Di ruangan dinginnya tak pernah benar-benar dingin, Kasubdit Tipikor, Kompol Jufri, suaranya pendek dan hemat napas hanya mengangkat alis ketika ditanya apakah penyidikan mandek.
“Masih on the track,” katanya singkat pada Jumat, 14 November 2025. Kalimat terasa seperti pintu setengah terbuka kita boleh mengintip, tapi tak diizinkan masuk terlalu jauh.
Kasus ini memang bukan cerita sembarang kreditan macet. Ini adalah opera gelap fasilitas kredit Rp120 miliar, dicairkan melalui Koperasi Karyawan EPFM, tetapi justru mengalir ke rekening-rekening yang tak jelas rupa, hubungan, maupun legitimasi.
Audit akuntan publik menyebut negara tekor Rp55 miliar. Namun angka itu, seperti biasa, hanya puncak karang.
Polisi sudah menetapkan tiga orang tersangka MN, RF, dan RHA pengurus koperasi yang kini lebih sering disebut sebagai “orang-orang terlalu kreatif dengan data karyawan.”
Kreativitas itu meliputi data pegawai fiktif, identitas ganda, hingga rekayasa gaji, lengkap dengan tanda tangan dan dokumen seolah-olah lahir dari printer yang sangat patuh.
Namun, kisah ini tak mau berhenti pada koperasi. Tentu saja tidak. Sebab kalau kredit ratusan miliar bisa cair hanya dengan modal berkas palsu, publik bertanya: di mana bank?
Karena itu pula, penyidik tidak menutup pintu. “Tetap,” jawab Jufri ketika ditanya apakah pejabat Bank Mandiri ikut diperdalam.
Lagi-lagi singkat. Lagi-lagi hemat. Namun cukup memberi pesan bahwa drama korea juga sinetron SCTV-Indosiar ini belum tamat.
Untuk saat ini, penyidik terpaksa menahan diri. Berkas tiga tersangka dikembalikan jaksa melalui P-19. Ada formil belum lengkap, ada materil perlu dipadatkan.
“Berkasnya kami kembalikan karena masih terdapat kekurangan,” ujar Soetarmi dari Kejati Sulsel, pada 20 Oktober 2025. Pernyataannya kuyu seperti secarik memo meminta PR tambahan.
Sementara itu, penelusuran tetap berjalan. Polisi telah memeriksa 154 saksi, termasuk 11 pegawai Bank Mandiri.
Jumlahnya banyak, tetapi sampai kini belum satu pun pejabat bank yang naik kelas menjadi tersangka. Di sinilah cerita mulai terdengar timpang.
Peran Pihak Bank
Jika ada pihak yang paling tak rela kasus ini berhenti di pinggir, itu adalah Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi.
Dari posko mereka tak pernah benar-benar sepi, Ketua ACC, Kadir Wokanubun, bersuara lantang. Suaranya seperti lonceng kecil memaksa publik menoleh, apakah mau atau tidak.
“Tanpa keterlibatan pihak bank, tidak mungkin kredit sebesar Rp120 miliar cair menggunakan dokumen fiktif,” tegas Kadir pada 24 Oktober 2025.
Ia tak salah. Dalam prosedur perbankan, kredit bukan sekadar tanda tangan. Ada Account Officer, ada analis kredit, ada pejabat pemutus kredit.
Setiap lapisan ibarat pagar berlapis, dibuat agar dana tak mengalir ke tangan yang salah kaprah. Salah urus.
Maka bila kredit ratusan miliar bisa lolos, pertanyaannya bukan lagi “apakah ada kelalaian,” tetapi seberapa besar skalanya.
“Kalau ada tahapan yang dilangkahi, penting untuk dibuka siapa pejabat yang bertanggung jawab,” tambahnya.
Kritik itu bukan hanya soal mencari siapa bersalah, tapi tentang menjaga martabat sistem perbankan selama ini mengklaim punya disiplin setara baja.
ACC juga menyoroti risiko penyidikan kasus viral yang tengah berhenti di pihak yang lemah secara struktur.
“Kami tidak ingin ada kesan bahwa hanya pengurus koperasi yang diproses, sementara oknum internal bank tidak tersentuh,” ujar Kadir.
Ini bukan paranoia. Sejarah kasus korupsi di Indonesia sering menunjukkan pola sama lingkaran kecil di bawah jadi korban ritual, sementara lingkaran besar tetap bersih seperti kaca jendela baru diseka.
Di Kota Makassar, kekhawatiran itu menjadi suara umum. Warga bertanya, dengan nada getir, apakah kredit jumbo bisa selolos itu tanpa lampu hijau dari dalam bank?
Bahkan orang-orang pasar yang tidak tahu menahu istilah “verifikasi kredit” pun bisa membaca logikanya.
Penyidik sendiri tampaknya memahami kecurigaan publik. Buktinya, penyitaan besar-besaran telah dilakukan Rp1,7 miliar uang tunai, 13 mobil, 10 dump truck, 8 forklift, 5 sertifikat tanah, dan tabungan Rp7,5 miliar.
Harta-harta itu seperti serpihan puzzle yang menunjukkan betapa derasnya arus dana yang pernah mengalir.
Namun semua itu tetap belum menjawab siapa yang membuka pintu?
Tabir Masih Gelap
Di balik semua keruwetan ini, ada sisi human interest yang tak bisa diabaikan para anggota koperasi yang namanya dicatut dalam berkas kredit.
Banyak dari mereka tak tahu bahwa identitasnya sudah “disulap” menjadi peminjam ratusan juta.
Saat dipanggil saksi, beberapa bahkan mengaku tak pernah memberi persetujuan. Identitas mereka bagaikan kunci kamar yang dipakai orang lain untuk menginap semalaman.
Ada juga pegawai-pegawai bank yang kini hidup dalam kekhawatiran. Setiap panggilan penyidik membuat suasana kantor menjadi datar dan kaku.
Mereka tahu bahwa penyelidikan mungkin meluas ke siapa saja yang pernah menyentuh dokumen kredit pada 2018–2019.
Sementara itu, tiga tersangka utama menghadapi dunia lain. Mereka disebut-sebut sebagai otak, tetapi benang-benang terlilit pada kasus ini tampak terlalu banyak untuk ditarik hanya dari koperasi.
Publik curiga, mereka hanya menjadi simpul awal dari tali yang lebih panjang.
Seorang penyidik yang enggan disebut namanya pernah berbisik lirih, “Ini kasus yang rumit. Uangnya mengalir ke banyak tempat. Kita harus hati-hati.”
Hati-hati. Frasa itu sering dipakai ketika penyidik sedang berjalan di tanah yang tidak rata terlalu cepat akan jatuh, terlalu lambat dianggap mandek.
ACC Sulawesi pun memberi peringatan terakhir berbunyi keras.
“Kredit Rp120 miliar bukan nilai kecil. Kalau penyidikan berhenti di level koperasi, publik bisa menilai penegakan hukum tidak berjalan maksimal.”
Tekanan itu membuat penyidik terus bergerak. Berkas dilengkapi, saksi diperiksa ulang, aliran dana dipetakan lagi.
Seperti pemburu yang menelusuri tapak samar di tanah basah, Polda Sulsel bergerak perlahan, tetapi tidak berhenti.
Jejak Cuan Kepercayaan
Pada akhirnya, kasus kredit fiktif Rp120 miliar ini bukan sekadar urusan hukum.
Ia adalah cermin besar tentang integritas sistem keuangan, kerentanan institusi, dan mekanisme pengawasan yang kerap kalah oleh kelihaian oknum.
Di meja penyidik, berkas-berkas mungkin akan lengkap. Para tersangka juga mungkin akan sangat terpojok.
Barang bukti mungkin akan bertambah. Namun yang paling ditunggu publik adalah keberanian menyentuh titik pusat apakah itu koperasi, pejabat bank, atau gabungan keduanya.
Dalam dunia penuh retakan, kepercayaan adalah mata uang paling mahal. Dan kasus ini, sampai kini, masih berusaha menebusnya.
Polda Sulawesi Selatan mengeklaim akan menuntaskan penyidikan dan melimpahkan berkas kasus ini setelah seluruh petunjuk jaksa terpenuhi.
Namun sampai pintu terakhir diketuk, satu hal tetap jelas soal kebenaran tidak boleh berhenti di tengah jalan.

