
Satu lagi di Tana Toraja, masih menatap kabut hukum antara berani dan ragu, antara tuntas dan tunda. Keduanya mengurus perkara yang sama aroma korupsi Anggaran Rumah Tangga (ART) DPRD.
Tapi hasilnya seperti dua musim yang tak pernah bertemu satu mengguyur dengan keadilan, satu membiarkan awan abu-abu menggantung terlalu lama.
Hukum Masih Tegak?
Di Bantaeng, Kejaksaan Negeri seperti tak mau main mata dengan nasib. Perkara korupsi tunjangan fasilitas rumah negara pimpinan DPRD periode 2019-2024 dipaksa berjalan hingga titik paling akhir kasasi di Mahkamah Agung.
Mereka tidak menyerah di banding. Mereka menolak kompromi yang sering berakhir dalam ruang sunyi bernama “administratif”.
Jaksa Penuntut Umum Kejari Bantaeng menilai putusan banding terlalu lunak tak cukup untuk menggigilkan rasa malu pejabat yang menyalahgunakan rumah negara seolah vila pribadi.
Dan benar saja, Mahkamah Agung memperberat hukuman seluruh terdakwa. Empat nama besar DPRD Bantaeng, Hamsyah, Irianto, Muhammad Ridwan, dan Jufri Ka’u akhirnya tak lagi sekadar headline, tapi contoh hukum berjalan.
Mereka juga sudah dijatuhi pidana 3 hingga 6 tahun penjara, plus denda dan uang pengganti miliaran rupiah.
“Seluruh tuntutan jaksa pada pokoknya dikabulkan Mahkamah Agung. Ini menjadi preseden penting setelah proses panjang sejak penyidikan,” kata Kepala Seksi Pidana Khusus Kejari Bantaeng, Andri Zulfikar pada Selasa, 14 Oktober 2025.
Bantaeng menulis sejarah kecil di tengah skeptisisme besar. Bahwa korupsi rumah jabatan bukan sekadar pelanggaran etik, tapi kejahatan nyata terhadap uang rakyat.
Bahwa, kalau perihal keadilan, meski lambat, bisa sampai juga jika penegaknya tak berhenti di tengah jalan.
Antara Pengembalian dan Pengabaian
Namun di Tana Toraja, cerita itu berjalan dengan tempo yang jauh berbeda. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan seolah masih berjalan di pinggiran niat.
Sudah ada pengembalian kerugian negara. Sudah ada hasil audit Inspektorat. Tapi perkara masih saja betah di ruang penyelidikan, seperti hujan yang enggan turun meski langitnya kelabu.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Soetarmi, dengan tenang menjelaskan kepada massa mahasiswa yang berorasi di depan kantor kejaksaan.
“Telah dilakukan pemulihan kerugian negara,” katanya pada Selasa, 14 Oktober 2025.
Kalimat itu terdengar tenang, mungkin terlalu tenang untuk perkara yang sudah lama berteriak di telinga publik.
Para aktivis antikorupsi justru gelisah. Salah satunya Ketua Badan Pekerja ACC Sulawesi, Kadir Wokanubun.
“Pengembalian keuangan negara tidak menghapus penuntutan. Itu hanya meringankan, bukan menghilangkan pidana,” ujar Kadir Wokanubun tegas.
Pasal 4 UU Tipikor menjadi rujukan yang tak bisa diperdebatkan. Namun hukum, di tangan manusia, kadang berubah jadi tafsir moral ditunda jika perlu, ditarik jika takut, atau dipelankan bila menyentuh mereka yang berkuasa.
Anggaran Tak Pernah Dihuni
Kasus ART DPRD Tana Toraja bermula dari kegelisahan mahasiswa dan pemuda.
Mereka mencium kejanggalan pada fasilitas rumah jabatan pimpinan DPRD yang, ironisnya, tak pernah dihuni tapi tetap menelan anggaran selangit.
Bayangkan:
- Konsumsi pejabat bisa mencapai Rp25 juta per bulan.
- Listrik dan air sekitar Rp10 juta per bulan.
- Pemeliharaan rumah yang jarang disentuh hingga Rp152 juta per tahun.
- Rakyat menatap bingung seperti menatap rumah kosong yang terus disapu oleh uang rakyat.
Sejak 2024, puluhan saksi telah diperiksa, dokumen APBD dikumpulkan, tapi tak ada peningkatan status perkara.
Kejati Sulsel berganti pimpinan, tapi ritme penegakan hukum tetap datar. Mungkin, di Toraja, hukum masih minum kopi, menunggu pagi yang tak kunjung tiba.
Dari dua arah penanganan ini, terlihat satu garis besar keberanian institusional bukan ditentukan oleh posisi, melainkan oleh nurani.
Kejari Bantaeng menegakkan hukum seperti menyalakan lilin dalam badai kecil, akan tetapi menerangi sekali.
Sementara Kejati Sulsel masih menimbang apakah keadilan cukup ditegakkan lewat “pemulihan kerugian negara”, atau harus benar-benar melalui pemidanaan pelaku?
Ketua Badan Pekerja ACC Sulawesi, Kadir Wokanubun kembali mengingatkan publik menunggu tindakan konkret, bukan pernyataan normatif.
Kalimat itu seperti tamparan lembut bagi lembaga penegak hukum. Sebab publik sudah terlalu sering diberi janji dalam bentuk siaran pers, bukan keadilan dalam bentuk putusan.
Integritas Menjadi Pilihan
Dua perkara ini seolah menulis babak ironi tentang wajah hukum kita. Di Bantaeng, jaksa masih berani melawan kelaziman politik lokal.
Di Toraja, jaksa masih menunggu arah angin dari entah siapa. Padahal, undang-undang tak mengenal kompromi.
Lorupsi adalah tindak pidana luar biasa yang harus diusut hingga akar, bukan dipotong di ranting pengembalian.
Namun hukum, seperti manusia, punya rasa takut. Dan di sinilah drama itu terjadi antara niat baik yang terhenti, dan ketegasan yang berjalan sendirian.
Perbandingan ini juga lebih juga dari sekadar dua kasus korupsi. Ia adalah potret keberanian dan keraguan.
Di satu sisi, Kejari Bantaeng menolak menyerah, hingga Mahkamah Agung memperkuat keadilan rakyat.
Di sisi lain, Kejati Sulsel memilih berhenti di simpang jalan, seolah lupa arah yang dulu dijanjikan dalam sumpah penegakan hukum.
Keduanya berdiri di bawah lembaga yang sama, tapi menunjukkan dua hati yang berbeda. Rakyat, sekali lagi, belajar hukum bukan soal pasal, tapi soal siapa yang berani menegakkannya.
Jika Diam Menjadi Kebiasaan Kasus Toraja kini menjadi ujian moral. Bukan hanya bagi aparat hukum, tapi bagi kepercayaan publik yang perlahan terkikis.
Sebab kalau di negeri ini juga terlalu sering korupsi berakhir dengan “pengembalian”, bukan “pengadilan”.
Jika pola ini terus berulang, maka keadilan akan jadi komoditas diperjualbelikan dengan retorika pemulihan kas negara.
Padahal uang bisa dikembalikan, tapi rasa percaya tidak. Saat kepercayaan publik menguap, hukum tinggal nama; jaksa tinggal seragam; keadilan tinggal naskah.
Bantaeng kini menjadi tolok ukur baru. Kecil, tapi berani. Sementara Toraja, tanah legenda, tengah diuji apakah berani melangkah, atau memilih diam seperti patung-patung batu di lereng Rantepao.
Jika Kejati Sulsel memilih berani, publik akan mencatat bahwa hukum tak berhenti pada pengembalian uang, melainkan pada pemidanaan pelaku sebagaimana diperintahkan UU Tipikor.
Namun jika tidak, maka sejarah akan menulis Bantaeng hanya pengecualian, sementara Toraja sekadar pengingat bahwa hukum bisa menua tanpa bertindak.
Pada akhirnya, korupsi juga bukan hanya kejahatan finansial, tapi juga pengkhianatan terhadap kepercayaan.
Dan jaksa, di manapun ia berdiri, sedang memegang cermin itu. Apakah ia akan melihat wajah keberanian, seperti Bantaeng?
Ataukah wajah ragu, seperti Toraja? Publik menunggu jawabannya bukan dalam pernyataan pers, tapi dalam putusan hukum.
Sebab keadilan, jika hanya diucapkan tanpa ditegakkan, maka dari itu, hanyalah kata yang kehilangan makna.