
Air mata itu jatuh pelan di pipi keriput Rustayim, sang ketua Kelompok Tani Tunas Jaya, saat ia menyaksikan kolam ikan lele dan nila miliknya berkilau diterpa sinar matahari pagi.
Sinar yang kini tak hanya datang dari langit, tapi juga dari listrik PLN yang mengalir deras, menggerakkan pompa air, menghidupkan aerator, dan menyalakan harapan.
“Alhamdulillah. Ini bukan mimpi,” ujarnya lirih, sambil mengusap air mata dengan lengan kemeja lusuhnya.
“Dulu kami cuma punya tenaga, tapi tak punya modal. Sekarang? Modal datang, listrik menyala, ikan berkembang, jamur tumbuh subur. Hidup mulai berwarna,” tuturnya semringah.
Inilah cerita yang tak boleh dilewatkan. Bukan sekadar berita bantuan sosial.
Ini adalah narasi kemanusiaan. Kisah tentang bagaimana sebuah BUMN PT PLN (Persero) melalui unitnya, UIP Kalimantan Bagian Barat (Kalbagbar), memilih untuk tidak hanya menjual listrik, tapi juga menyalakan nyala hidup di hati rakyat kecil.
Bukan Cuma Lampu
Assistant Manager Keuangan PLN UIP Kalbagbar, Tigor Youlandert, tak bicara dengan gaya korporat kaku saat menjelaskan program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) yang mereka salurkan. Ia bicara dengan hati.
Ini bukan proyek. Ini janji. Janji PLN kepada masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah kerjanya.
Listrik bukan cuma untuk nyalain lampu atau nonton TV. Listrik adalah energi kehidupan. Energi ekonomi. Energi harapan.
Dan benar. Dengan dana TJSL sebesar Rp372 juta, Kelompok Tani Tunas Jaya yang berdiri sejak 2018 itu kini mengelola 14 kolam ikan 7 kolam lele.
7 kolam nila ditambah budidaya jamur tiram yang tumbuh subur di gubuk-gubuk bambu yang kini dilengkapi lampu UV dan pengatur suhu sederhana berbasis listrik.
“Dulu, kalau musim hujan, kolam banjir, ikan mati. Kalau kemarau, air surut, ikan stres. Sekarang? Pompa air jalan 24 jam. Aerator hidup terus. Ikan sehat. Panen lancar,” kata Rustayim, matanya berbinar.
Berkah Jalan Hidup
Mari dihitung bersama. Dengan 40 ribu ekor ikan mulai dari bibit hingga indukan yang kini hidup di kolam mereka, setiap anggota kelompok (total 10 orang) bisa membawa pulang Rp800 ribu per minggu.
Itu artinya, dalam sebulan, satu kepala keluarga bisa mengantongi Rp3,2 juta angka yang jauh di atas UMR Kabupaten Kubu Raya.
Tapi jangan lupa jamur tiram. Jamur putih lembut yang tumbuh di jerami bekas panen padi itu kini jadi primadona.
“Panen pertama umur 70 hari. Setelah itu, tiap dua minggu bisa petik lagi. Sampai empat kali. Satu kilo dijual Rp35 ribu ke pengepul. Kalau ke pasar? Bisa Rp45-50 ribu,” ucap Rustayim merinci.
Bayangkan satu baglog (media tanam jamur) bisa menghasilkan 3-4 kali panen. Satu kelompok punya ratusan baglog. Dan permintaan pasar? Masih jauh dari terpenuhi.
“Kami kejar-kejaran sama pesanan. Restoran di Kota Pontianak minta 50 kg per minggu. Kami cuma bisa kasih 30 kg. Pedagang pasar juga rebutan. Tapi kami belum bisa penuhi semua. Bahan baku masih kurang. Tenaga juga terbatas,” keluhnya, tapi dengan senyum getir yang penuh syukur.
Sinergi Adalah Kunci
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kubu Raya, Hefmi Rizal, tak bisa menyembunyikan kebanggaannya. Ini contoh kolaborasi yang ideal.
PLN tak cuma bagi-bagi uang. Mereka hadir, dampingi, latih, dan pastikan programnya berkelanjutan. Ini bukan charity. Ini pemberdayaan.

Bayangkan jika 10 kelompok tani saja kita dampingi seperti ini. Berapa lapangan kerja tercipta? Berapa pendapatan daerah naik?
Berapa keluarga terbebas dari kemiskinan? Ini bukan angan-angan. Ini bisa direalisasikan.
PLN, dalam diam, telah membuktikan bahwa BUMN bisa jadi ujung tombak pemerataan ekonomi. Bukan dengan retorika. Tapi dengan aksi nyata.
Dengan kolam ikan. Dengan baglog jamur. Dengan listrik yang mengalir.
Bukan Sekadar Jargon
Istilah “Electrifying Aquaculture” yang digaungkan PLN bukan sekadar slogan marketing. Ini filosofi. Ini cara pandang baru bahwa listrik adalah infrastruktur dasar pembangunan ekonomi mikro.
Tanpa listrik, pompa tak jalan. Tanpa listrik, aerator mati. Tanpa listrik, suhu inkubasi jamur tak stabil. Tanpa listrik semuanya mandek.
Tapi dengan listrik? Semuanya hidup. Berkembang. Beranak pinak. Menghasilkan uang.
Memberi makan keluarga. Menyekolahkan anak. Membayar hutang. Bahkan, membeli kendaraan baru hingga anak mereka mengenyam pendidikan jenjang tinggi.
Namun, di balik kebahagiaan, ada jeritan kecil yang masih menggema. “Kami butuh dukungan berkelanjutan,” pinta Rustayim.
“Modal awal sudah ada. Tapi untuk ekspansi? Masih jauh. Kami ingin bangun gudang penyimpanan. Ingin beli mesin pengering jamur. Ingin punya mobil pick up kecil untuk distribusi. Semua butuh listrik. Dan butuh dana,” ia menyerukan.
Ia tak meminta disumbang terus-menerus. Ia ingin diberi akses pelatihan manajemen, pendampingan teknis, akses pasar, dan tentu jaminan pasokan listrik yang stabil.
“Jangan sampai listrik padam saat jamur lagi masa kritis. Jangan sampai pompa mati saat ikan lagi butuh oksigen. Itu bisa bikin kami bangkrut dalam semalam,” ia mengingatkan.
Cerita Kelompok Tani Tunas Jaya adalah cermin. Cermin bagi pemerintah daerah, bahwa program pemberdayaan harus menyentuh akar rumput, bukan hanya proyek mercusuar.
Cermin bagi BUMN, bahwa TJSL bukan beban, tapi investasi sosial jangka panjang yang ROI-nya tak bisa dihitung dengan angka.
Akan tetapi, dengan air mata bahagia dan senyum anak-anak petani yang kini bisa sekolah tanpa takut biaya.
Dan cermin bagi perusahaan swasta, bahwa kehadiran mereka di daerah bukan hanya soal profit. Tapi juga tanggung jawab moral. Tanggung jawab kemanusiaan.
“Kami tak minta banyak. Cuma ingin dilihat. Diperhatikan. Diberi kesempatan,” ujar Rustayim, suaranya parau tapi tegas.
“Kami bisa kerja keras. Yang kami butuhkan cuma sedikit dorongan. Sedikit kepercayaan. Dan listrik yang tak pernah padam,” ucapnya mengingatkan kembali.
Rustayim mengajak saya ke belakang gubuknya. Di sana, di antara rak-rak jamur yang lembap, ia menunjuk sebuah stopkontak kecil yang terpasang di tiang kayu.
“Ini,” katanya, “adalah doa kami yang terkabul. Listrik dari PLN. Yang bikin jamur tumbuh. Yang bikin ikan hidup. Yang bikin anak-anak kami bisa belajar malam hari. Yang bikin istri saya bisa masak pakai rice cooker. Yang bikin hidup kami manusiawi.”
Ia diam sejenak. Lalu menambahkan, pelan tapi penuh makna. “Kalau Tuhan kasih kami tanah dan air, PLN kasih kami listrik dan harapan".
"Terima kasih, PLN. Jangan berhenti. Teruslah menyalakan cahaya. Karena di ujung sana, ada keluarga-keluarga kecil yang menunggu sinar itu untuk tetap hidup,” ucapnya.
Di Kubu Raya, ada sekelompok petani kecil yang berhasil bangkit. Bukan karena keajaiban, tapi karena listrik, kepedulian, dan kerja keras.
Mereka bukan pahlawan. Mereka manusia biasa. Tapi dengan bantuan yang tepat, manusia biasa bisa menciptakan keajaiban.
Dan keajaiban itu dimulai dari sebuah kolam ikan dan seonggok jamur tiram. Kelak itulah dongkrak ekonomi kerakyatan.