Air Mata di Ujung Jari, Ketika Nomor WhatsApp Wakil Ketua DPRD Kapuas Hulu Ali Topan Akbar Dibajak untuk Pinjam Duit - Kalimantannews.id

Air Mata di Ujung Jari, Ketika Nomor WhatsApp Wakil Ketua DPRD Kapuas Hulu Ali Topan Akbar Dibajak untuk Pinjam Duit

Air Mata di Ujung Jari, Ketika Nomor WhatsApp Wakil Ketua DPRD Kapuas Hulu Ali Topan Akbar Dibajak untuk Pinjam Duit

Air Mata di Ujung Jari, Ketika Nomor WhatsApp Wakil Ketua DPRD Kapuas Hulu Ali Topan Akbar Dibajak untuk Pinjam Duit
Kalimantannews.id, Kapuas Hulu - Di sebuah warung kopi di Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, seorang pria menatap layar ponselnya lama. 

Tangannya gemetar. Matanya berkaca-kaca. Ia baru saja menerima pesan dari nomor yang sangat dikenalnya  milik Wakil Ketua DPRD setempat, Ali Topan Akbar. 

Tapi bukan pidato politik atau kabar pembangunan. Pesannya sederhana, tapi mengiris “Bisa pinjam saldo 15 juta? Saya transfer ke rekan kerja, tapi limit. Bantu dong, besok pagi jam 9 saya balikin.”

Ia percaya. Bagaimana tidak? Nomornya resmi, fotonya familiar, gaya bahasanya pun mirip. Tanpa pikir panjang, ia mulai mengetik balasan. 

Tapi di detik terakhir, naluri rakyat desa yang terbiasa waspada menyelamatkannya. Ia menahan jari dari mengirimkan bukti transfer. 

Ia mencoba menelepon. Tak diangkat. Ia cek media sosial sang wakil rakyat. Tak ada pengumuman. Dan di sanalah, dalam diam, ia menyadari: ini bukan permintaan bantuan. Ini perangkap.

Ketika Kepercayaan Diretas

Tiga hari setelah peristiwa itu, kabar serupa beredar luas di grup-grup WhatsApp warga Kapuas Hulu. 

Nomor yang mengatasnamakan Ali Topan Akbar pejabat yang dikenal dekat dengan rakyat tiba-tiba meminta pinjaman Rp15 juta. 

Rekening tujuan: BRI atas nama Naufal Nabhaan Alhad, nomor 013701226713505. Pesannya dikirim secara masif, personal, dan terkesan mendesak. “Di krim bukti transfer ya. Saya mau transfer ke rekan kerja saya…”

Modus ini bukan baru. Tapi yang membuatnya menohok adalah identitas yang digunakan. Bukan penjual online atau influencer abal-abal. 

Tapi Wakil Ketua DPRD. Seorang figur publik yang seharusnya jadi panutan, kini justru menjadi topeng bagi penipu.

Ini bukan sekadar hack akun. Ini adalah perampasan identitas digital pencurian kepercayaan yang paling dalam.

Ali Topan Akbar sendiri membantah keras. Saat dikonfirmasi pada Jumat, 5 September 2025, ia menegaskan “Tidak benar. Jelas itu penipuan.” Suaranya datar, tapi di balik ketenangan itu, ada getaran emosi yang tersembunyi. 

Seorang wakil rakyat yang telah bertahun-tahun membangun citra, kini harus berjibaku melawan bayangan digital yang mengatasnamakannya. 

Ia tak hanya kehilangan kendali atas nomor WhatsApp-nya. Ia kehilangan sesuatu yang lebih berharga: kepercayaan publik.

“Saya kena WA juga,” kata salah satu warga yang enggan disebutkan namanya. “Rata-rata minta pinjam 15 juta. Bahasa yang dipakai cukup meyakinkan. Mirip banget kayak dia.” 

Ini bukan sekadar laporan. Ini adalah pengakuan dari rakyat yang merasa dikhianati oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka.

Teknologi, dan Psikologi Massa

Angka 15 juta bukan angka sembarangan. Cukup besar untuk membuat orang berpikir dua kali, tapi tidak terlalu besar untuk membuat mereka langsung curiga. 

Ini adalah psikologi penipuan digital yang matang. Terlalu kecil, tidak menarik. Terlalu besar, menimbulkan alarm. 

Tapi 15 juta? Cukup untuk memicu empati, cukup untuk membuat seseorang berpikir “Ah, dia kan pejabat, pasti bisa bayar.”

Metode ini WhatsApp Business Hijacking  telah menjadi tren global. Di Indonesia, kasus serupa sempat heboh saat nomor pejabat daerah di Jawa Timur dan Sumatera Utara diretas untuk meminta uang ke keluarga bawahannya. 

Tapi di Kapuas Hulu, kasus ini menyentuh lapisan sosial yang lebih rapuh. 

Masyarakat desa, yang masih sangat menghormati pejabat, mudah terpengaruh oleh pesan yang datang dari nomor “resmi”.

Yang menarik, pelaku tidak meminta transfer ke rekening korporat atau nama samaran. 

Mereka menggunakan nama Naufal Nabhaan Alhad. Nama yang terdengar personal, mungkin sengaja dipilih agar terkesan seperti rekan kerja atau kerabat dekat. 

Strategi ini memanfaatkan social proof jika nomornya benar, dan rekeningnya terdengar masuk akal, maka kepercayaan pun terbentuk.

Belum ada konfirmasi korban resmi. Tapi jangan salah. Tidak ada laporan bukan berarti tidak ada korban. 

Di daerah terpencil, banyak yang malu melapor. Atau tidak tahu cara melapor. Mereka mungkin sudah transfer, lalu diam karena merasa malu, atau takut dianggap bodoh. 

Dalam dunia digital, penipuan bukan hanya soal uang. Tapi juga soal harga diri. Kasus ini juga membuka mata: betapa rentannya infrastruktur komunikasi digital di daerah. 

Tidak semua warga paham two-step verification, backup chat, atau cara memverifikasi identitas secara digital. 

Mereka hanya tahu nomor itu dulu pernah menghubungi mereka untuk urusan resmi. Maka, ketika nomor itu kembali muncul, mereka langsung percaya.

Jejak Digital

Ali Topan Akbar bukan korban pertama. Dan pasti bukan yang terakhir.

Dalam era di mana identitas digital lebih aktif daripada identitas fisik, bajak-membajak akun bukan lagi soal teknis semata. 

Ini soal kekuasaan. Soal siapa yang bisa mengendalikan narasi.

Saat ini, pihak kepolisian masih menyelidiki kasus ini. Namun, jejak digital pelaku sering kali sirna sebelum penyelidikan dimulai. 

WhatsApp, meskipun aman secara enkripsi, rentan terhadap SIM swap teknik di mana pelaku membajak nomor dengan mengganti SIM card korban melalui operator seluler. 

Cukup dengan sedikit data pribadi, nomor bisa berpindah tangan. Dan dalam hitungan menit, si pelaku sudah bisa mengirim pesan atas nama korban.

Yang membuat kasus ini semakin pelik: tidak ada sistem peringatan dini yang efektif. 

Tidak ada notifikasi resmi dari WhatsApp yang bisa langsung diakses warga. Tidak ada kampanye literasi digital yang masif di daerah. 

Masyarakat hanya bergantung pada word of mouth pesan berantai untuk melawan pesan berantai. Namun, di tengah krisis ini, muncul satu sisi terang solidaritas warga. 

Grup-grup WhatsApp yang sebelumnya hanya digunakan untuk arisan atau jualan pulsa, kini berubah menjadi posko informasi. 

Mereka saling mengingatkan, saling verifikasi, saling melindungi. Sebuah bentuk digital mutual aid yang lahir dari trauma kolektif.

Ali Topan Akbar sendiri kini aktif memberi klarifikasi. Ia meminta warga tidak percaya pada permintaan uang via WhatsApp, apalagi dari nomor yang mirip dengannya. 

Ia juga mengimbau agar masyarakat lebih waspada, dan segera melapor jika menemukan hal mencurigakan.

Tapi pertanyaan besar tetap menggantung bagaimana mungkin seorang pejabat publik yang seharusnya paham teknologi bisa diretas begitu mudah? 

Apakah ini soal kelalaian individu? Atau sistem keamanan digital yang belum siap menyentuh daerah terpencil?

Saat Rakyat Harus Belajar Curiga

Kasus ini bukan hanya tentang 15 juta rupiah. Ini tentang kepercayaan yang retak. 

Tentang identitas yang bisa direkayasa. Tentang rakyat yang harus belajar curiga pada yang dulu mereka hormati.

Di Kapuas Hulu, hutan masih lebat, sungai masih jernih, dan rakyatnya masih hangat. 

Tapi di dunia digital, semuanya bisa dipalsukan. Senyum bisa jadi avatar. Suara bisa jadi rekaman. Dan nomor WhatsApp bisa jadi senjata.

Ali Topan Akbar mungkin bisa membersihkan namanya. Tapi jejak digital itu akan tetap ada. 

Di cache browser, di screenshot grup WhatsApp, di ingatan warga yang sempat percaya. Dan meskipun pelaku tertangkap, trauma itu akan bertahan.

Yang dibutuhkan bukan hanya penegakan hukum. Tapi edukasi. Literasi digital harus menjadi bagian dari kurikulum desa. 

Pelatihan keamanan siber harus masuk ke balai dusun. Pejabat harus jadi pelopor, bukan korban. Karena di era digital, musuh tidak lagi datang dengan senjata. Ia datang dengan pesan singkat. 

Dengan emoji senyum. Dengan permintaan pinjaman yang terdengar sangat manusiawi.

Dan di ujung jari, di layar ponsel usang seorang warga Kapuas Hulu, air mata bukan hanya soal hampir kehilangan uang. 

Tapi soal hampir kehilangan kepercayaan pada dunia yang dulu ia kenal.

Formulir Kontak